Kamis, 07 April 2011

PROCRUSTES SEBAGAI AWAL MASALAH

Dalam mitologi Yunani, ada seorang bernama Procrustes yang menguasai sebuah jalan dengan memiliki papan ukur setinggi badannya. Siapapun yang lewat akan diukur, jika kurang tinggi akan ditarik dan bila ternyata badannya melebihi papan ukur akan dipotongnya. Procrustes selanjutnya dalam literatur dianalogikan seseorang yang mempunyai standar subjektif dan selalu memandang orang lain dari sisi standar pribadi tersebut serta menginginkan standar pribadinya dipakai orang lain.

Vernum di Antara Superego dan Ego
Jika boleh mencermati permasalah di sekitar kita, maka pelajaran dari mitologi di atas kiranya masih ada relevansinya. Dari persoalan hidup yang sederhana baik dalam keluarga, persahabatan, maupun kehidupan di dalam kerja, adakalanya timbul masalah yang kadangkala sulit dipecahkan bahkan mengarah pada rasa dendam dan permusuhan dengan sesama. Padahal hidup ini sebenarnya sangatlah indah untuk dinikmati, jikalau hidup diartikan sebagai konfigurasi dari berbagai macam sifat dan bentuk dan diri kita menjadi bagiannya dalam mewujudkan keindahan tersebut.
Sebenarnya persoalan tidak harus menjadi masalah yang berlarut-larut. Dalam diri manusia sejak kecil setiap hari ditanamkan nilai-nilai, baik etika (baik-tidak baik), moral (boleh-tidak boleh), agama (berdosa-berpalaha), estetika (indah-tidak indah), nilai hukum (benar-salah) dan masih banyak lagi. Pengalaman (experience) inilah yang dalam filsafat dikenal dengan vernum yang akan mendampingi dan berada diantara ego dan superego. Pengalaman sewaktu kecil tidak akan pernah hilang atau permanen, hal ini mempengaruhi sikap dan perilaku (metal attitude) seseorang, tetapi bukan hal yang mutlak memiliki otoritas menentukan perilaku pada saat dewasa sama persis dengan pengalaman yang didapatkan.
Perjalanan seseorang menjadi dewasa setiap saat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar yang sangat beragam dan luar biasa banyaknya. Hal ini terjadi dalam interaksi sosial dengan lingkungan sekitar maupun pada saat menerima pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan non formal. Pembentukan kepribadian seseorang akan selalu berkembang. Memilih alternatif-alternatif keputusan yang akan diambil mulai banyak dipengaruh, namun pada dasarnya yang namanya hati kecil menpunyai pengaruh dominan tetapi tidak mutlak. Hati kecil inilah pengalaman pada waktu kecil yang penuh dengan nilai-nilai.
Perselisihan adalah adanya selisih pendapat atau sudut pandang seseorang. Perselisihan terbuka disebut juga dengan konflik, sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan. Terjadinya konflik tidaklah penting, yang lebih utama adalah mengelola konflik dan menyelesaikannya. Orang mempunyai pendapat menurut standar subjektif yang telah terbingkai dalam diri karena diambil dari pengalaman-pengalaman yang tersimpan di otak kecil sejak kecil.

Procrustes dan Egois
Penyelesaian konflik memerlukan kompromi-kompromi dengan lawan konflik, maupun dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Konflik yang berlarut-larut jika dicermati lebih pada pendapat yang memaksakan standar yang ada pada diri seseorang agar dipahami oleh orang lain. Sementara tiap-tiap orang mempunyai standar subjektif sendiri-sendiri.
Sikap memaksa orang lain agar menerima hasil interprestasinya telah memenuhi sifat procrustes. Sifat yang tanpa disadari telah menjadi bagian dari metode mengambil keputusan ini terjadi, karena nilai-nilai yang didapat dari pengalaman telah berubah menjadi dogma dalam hidup. Perubahan nilai menjadi dogma cenderung diakibatkan oleh kepanikan dalam menghadapi persoalan yang tidak biasa dihadapi. Kemungkinan lain adalah terlewatkanya sifat manusia secara hakiki sebagai homo homini socius, di mana orang selalu hidup bersama orang lain.
Sifat procrustes mirip sekali dengan sifat egois. Perbedaan hanya pada kadar aktif dan terbuka dari sifat procrustes yang akan berusaha memaksakan pada orang lain, sementara pada sifat egois kadang memilih diam dan cenderung apatis dan mungkin juga skeptis. Namun dua-duanya memiliki konotasi dan nilai yang kurang baik berdasarkan standar umum, walau egois dapat diterima oleh sebagian orang karena kadang muncul apatis tidak menganggu orang lain.

Menghindari Sifat Procrustes
Kepentingan biasanya dijadikan alasan utama seseorang harus mempertahankan dan memaksakan pendapat dan keputusannya. Mempetahankan pendapat dan keputusan masih wajar dan dapat diterima secara umum karena sebagai sifat hakiki tiap manusia normal. Ketika memaksakan kepada orang lain, maka telah memasuki difinisi sifat procrustes. Untuk menghidari sifat procrustes setidaknya orang harus tidak panik dalam mengahadipi setiap persoalan dalam hidup. Salah satu caranya adalah dengan membiasakan konflik dan berusaha menyelesaikan melalui kompromi dengan persoalan itu sendiri. Kemudian menyadari, bahwa kita bukan satu-satunya orang yang memiliki persoalan karena tiap-tiap orang juga mempunyai persoalan yang berbeda. Menyadari perbedaan akan dapat membantu menyelesaikan masalah tanpa dihinggapi sifat procrustes.
Jadi intinya adalah kesadaran diri terhadap perbedaan tiap manusia menjadi kunci menghindari sifat procrustes. Sekali lagi jangan panik dengan persoalan hidup, biasakan untuk melakukan konflik. Terlatih dalam menyelesaikan persoalan dengan konflik akan menjadikan tidak akan panik jika persolan hidup hadir dihadapan kita. Akhirnya kemauan untuk selalu introspeksi harus ada untuk menghindari salah satu sifat yang kurang baik dalam diri setiap manusia ini. Selamat mencoba.Gatut Wijaya)

Tidak ada komentar: