Kamis, 04 Agustus 2011

MAHKAMAH KONSTITUSI TIDAK KONSISTEN

Memperhatikan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Amanat Pasal 24C ayat (1) sejalah dan pelaksanaan Pasal 1 ayat (2), yaitu: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan harapan besar untuk bersandarnya banga Indonesia agar tetap terjaga kehidupan berbangsa dan bernegara selalu bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari amanat Undang-Undang Dasar, ternyata Mahkamah Konstitusi belum menjalankan dengan benar. Salah satu bukti tersebut adalah tidak patuhnya untuk menyebut Undang-Undang Dasar dengan benar, apalagi menyebut Undang-Undang.
Contoh kekurang cermatan dan tidak konsisten menyebut Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006, pada halaman 3 romawi I, tertulis: “Pasal 24C Ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.....”
Dengan metode penulisan tersebut dapat dimaknai Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimaksud adalah terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan.
Seharusnya penulisan yang benar adalah: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa frasa “Perubahan Ketiga”.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 133/PUU-VII/2009, pada halaman 2 romawi I angka 2, tertulis: “Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945......”
Metode penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan UUD 1945 jelas tidak konstitusional karena tidak sesuai dengan konstitusi yang menyebut dengan UUD saja. Penulisan penyebutan berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 4/PUU-VII/2009, pada halaman 2 romawi I, tertulis: “Bahwa Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945)......”
Metode penulisan sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006 dengan tambahan frase “(selanjutnya UUD 1945)”. Pemaknaan perubahan ketiga terpisah dari Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan dan penambahan frase yang tidak jelas maksudnya, disebut atau disingkat.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-VIII/2010, pada halaman 2 romawi I angka 2, tertulis: “Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945......”
Metode penulisan sekali lagi berbeda dengan penulisan pada putusan sebelumnya, jelas hal ini adalah bukti tidak konsisten dalam penulisan.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, pada halaman 4 huruf A angka 1, tertulis: “Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)......”
Metode penulisan yang seakan tidak memahami, bahwa konstitusi telah berubah dengan amandemen menjadi Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, artinya dasar lahirnya Mahkamah Konstitusi pun tidak dipahami.
Rujukan Pasal 24 ayat (2) adalah tidak cermat dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi. Putusan-Putusan sebelumnya selalu merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) sebagai dasar kewenangan mengadili, sedangkan Pasal 24 ayat (2) adalah dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pencermatan terhadap penulisan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang tidak cermat dan tidak konsisten, maka patut dan layak untuk dipertanyakan bersandarnya harapan berbangsa dan bernegara selalu merujuk pada konstitusi yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal tersebut baru pada Putusan, jika diperhatikan pada salah satu Ketetapan Nomor: 106/PUU-VII/2009 dalam konsideran menimbang huruf a, tertulis:
“.......perihal Pengujian Pasal 43B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.......”
Ada dua hal yang tidak cermat, yaitu:
Pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya ada dua Pasal yaitu Pasal I tentang perubahan dan Pasal II berisi penutup, seharunya penulisannya adalah perihal Pengujian Pasal 43B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kedua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, tetapi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian catatan kecil ini, semoga Mahkamah Konstitusi dapat menjadi sandaran harapan agar dalam berbangsa dan bernegara selalu dalam koridor konstitusi.
Jombang, 27 Juli 2011
Gatut Wijaya, SH., M.Hum.
Kabag Hukum Setdakab Jombang.