Senin, 06 Februari 2012

ILMU MEMBACA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan, demikian amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum (rechtstaat) artinya negara yang berdasarkan atas hukum, artinya negara dibangun berlandaskan suatu ide hukum (idee das recht) yaitu bagaimana kehidupan bernegara selalu berfokus pada kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum salah satunya adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Namun terlalu banyak peraturan perundang-undangan akan menciptakan negara undang-undang (wetstaat). Kenyataan empiris negara Indonesia banyak sekali adanya undang-undang sampai-sampai adanya Mahkamah Konstitusi yang selalu kebanjiran uji materi terhadap Undang-undang. Parahnya, banyak uji materi yang dikabulkan, atau dengan kata lain banyak undang-undang di negeri ini yang tidak berdasar konstitusi atau norma yang diatur dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Postulat ini mencerminkan pemahaman pembentuk undang-undang terhadap konstitusi sebagai dasar negara hukum relatif tidak begitu baik.
Pada tataran undang-undang telah terjadi pelanggaran konstitusi, apalagi pada tataran peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang: mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai peraturan daerah. Tidaklah mungkin melakukan uji materi seluruh produk perundang-undangan, namun di sisi lain adanya peraturan perundang-undangan yang melanggar konstitusi, bertentangan dengan peraturan sejenis, apalagi dalam peraturan ada norma antar pasal yang saling bertentangan. Hal ini bukan suatu yang mustahil, karena dari rujukan yang diacu yaitu undang-undang telah banyak yang melanggar konstitusi dan saling bertabrakan pula.
Apapun yang terjadi begitulah bunyi undang-undang atau hukum itu kejam demikianlah yang tertulis sebagai arti harfiah adagium lex dura set tamen scrita. Hal tersebut tidak dapat ditelaah secara denotatif, perlu juga ditelaah secara konotatif. Maksud dari kalimat tersebut sebenarnya adalah untuk memberikan kepastian terhadap suatu aturan hukum tertulis, agar semua orang taat terhadap norma-norma hukum yang terkandung dan tidak melakukan interprestasi yang semaunya sendiri, karena interprestasi harus ada rambu-rambu sebagai kemauan semua orang. Asas universal hukum adalah the greatest number the greatest happiness, keadilan hukum adalah keadilan yang harus dirasakan sebagai kebahagiaan oleh sebagian besar orang, bukan keadilan yang hanya dirasakan bahagia oleh sebagian kecil orang.
Dari carut marutnya penyusunan norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan bukan berarti harus skeptis dan apatis terhadap semangat untuk menjadi negara yang berdasarkan hukum. Untuk itu perlu belajar cara menyelesaikan masalah pertentangan antar peraturan perundang-undangan maupun pertentangan norma pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan. Ilmu hukum tidak hanya mengajari ilmu beracara di pengadilan belaka atau recht spraks wetten schape, ilmu hukum juga mengajari ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan atau wet geving wetten schape. Dalam ilmu hukum diajarkan ilmu hierarki peraturan perundang-undangan maupun asas-asas hukum. Dengan mamahami hierarki dan asas hukum, maka segala persoalan penerapan suatu peraturan perundang-undangan dapat diselesaikan. Dengan demikian carut marut peraturan perundang-undangan maupun norma-norma dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat diurai menurut ilmu hukum pula.
A. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Hierarki adalah susunan tingkatan, penggolongan secara vertikal. Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hakekat hierarki adalah memberikan landasan formal suatu susunan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan dari yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah. Namun demikian hierarki inipun juga terlalu sering ditabrak, dilanggar, diinjak-ijak, dan dianggap sebagai hiasan dalam negara hukum oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan. Jika konsisten dengan adanya hierarki sebagai konsekwensi negara hukum, maka saharusnya tidak ada aturan yang mendelegasikan kepada aturan yang jauh di bawahnya, atau seharusnya tidak terjadi aturan mendelegasikan kepada suatu produk hukum yang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan contoh yang tidak mendidik dan tidak mencerminkan proses yang sesuai dengan ilmu hukum dan ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan. Perhatikan ketentuan pasal-pasal delegatif sebagai berikut:
- Pasal 21 ayat (6) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 29 mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 36 ayat (5) mendelegasikan kepada peraturan gubernur;
- Pasal 46 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan DPR;
- Pasal 47 ayat (4) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 53 mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 54 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 55 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 59 mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 64 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 70 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan DPR;
- Pasal 75 ayat (4) mendelegasikan kepada peraturan DPRD provinsi;
- Pasal 76 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan DPRD provinsi;
- Pasal 98 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
Dari banyaknya pasal delegatif, hanya pasal 98 ayat (2) yang benar dan seharusnya demikian menurut ilmu hierarki, pasal delegatif yang lain tidak benar dan tidak taat serta tidak konsisten dengan hierarki. Tidak taat dan tidak konsisten dilakukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan, di negara yang berdasarkan atas hukum, luar biasa.
Pasal delegatif dari undang-undang yang tidak taat terhadap hierarki ada yang lebih parah seperti sampah yang berserakan tidak dikelola dengan baik. Perhatikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dengan pasal-pasal delegatif sebagai berikut:
- Pasal 2 ayat (5) mendelegasikan kepada peraturan menteri;
- Pasal 9 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan menteri;
- Pasal 11 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 12 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 16 mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 17 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 18 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 20 ayat (5) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 21 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 22 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 23 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 24 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 25 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 25 ayat (4) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 26 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan menteri;
- Pasal 28 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah:
- Pasal 29 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 29 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 31 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 32 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal-pasal delegatif tidak dijumpai yang mendelegasikan kepada peraturan presiden seperti kebiasaan pembentukan undang-undang yang lain. Konfigurasi pendelegasian yang tidak ada ukuran baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mencerminkan nuansa penampilan kekuasaan lebih terasa dari pada ukuran baku berdasarkan hukum termasuk konsitensi terhadap hierarki.
Dari dua undang-undang tersebut mencerminkan adanya pasal-pasal delegatif yang rancu tidak konsisten terhadap hierarki bertebaran dalam peraturan perundang-undangan di negara yang berdasarkan atas hukum. Tidak salah bila ada anekdot, negara maju semua telah diatur, tetapi di negeri ini semua bisa diatur. Malu atau memalukan jika nuansa kekuasaan masih melekat pada negara yang menyatakan sebagai negara yang tidak berdasakan kekuasaan belaka (macht staat).
Seharusnya atau seyogyanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hierarki adalah ukuran baku yang harus dijadikan pedoman secara konsisten. Peraturan hanya dapat mendelegasikan kepada peraturan yang setingkat di bawahnya, undang-undang hanya dapat mendelegasikan kepada peraturan pemerintah, demikian pula seterusnya. Pendelegasian juga harus terhadap peraturan perundangan-undangan di bawahnya, tidak kepada peraturan yang tidak masuk dalam hierarki. Undang-undang tidak seharusnya mendelegasikan kepada peraturan presiden karena secara hierarki peraturan satu tingkat di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah.
Hierarki adalah susunan secara bertingkat, undang-undang tidak dapat mendelegasikan kepada peraturan menteri, karena peraturan menteri tidak masuk dalam hierarki. Apalagi undang-undang mendelegasikan kepada peraturan daerah, pelanggaran asas ketaatan pada susunan tingkatan hierarki. Peraturan menteri tidak termasuk hierarki, kedudukanya diakui sepanjang delegatif dari peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi kerancuan dalam tata hukum di Indonesia, seharunya dengan asas otonomi menteri tidak lagi membentuk peraturan yang mengikat sampai ke daerah. Peraturan menteri seharusnya hanya berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat (lex inferpakta) pada lingkup kementerian yang bersankutan. Peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat daerah seharusnya hanya yang termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
B. Asas Lex Generalis Derogad Lex Specialis
Peraturan yang bersifat umum dilemahkan oleh peraturan yang peraturan yang bersifat khusus. Asas ini digunakan manakala ada dua peraturan yang sejenis dan setara dalam satu tingkatan hierarki. Sekarang sulit untuk menggunakan asas ini, seringkali persoalan dihadapkan pada peraturan yang tidak jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di dalamnya mengatur tentang pembentukan peraturan daerah yang menganut sistem evaluasi dan klarifikasi sebelum diundangkan (executive preview) dan pembatalan setelah diundangkan executive review, sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga mengatur tentang pembentukan peraturan daerah menganut sistem pembatalan melalui uji materi di pengadilan (judicial review) yaitu uji materi undang-undang pada Mahkamah Konstitusi dan peraturan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Tidak ada ketegasan mana dari dua undang-undang tersebut yang umum atau khusus. Keduanya diposisikan pada yang khusus. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai sifat khusus karena mengatur khusus pemerintahan daerah, demikian juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mempunyai sifat khusus karena mengatur khusus pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kembali lagi negara yang berdasar hukum ini ditunjukkan suatu penampilan kekuasaan belaka. Seharusnya menurut hukum, jika Undang-Undang 32 Tahun 2004 khusus mengatur pemerintah daerah, tidak perlu di dalamnya mengatur pembentukan peraturan daerah yang jelas termasuk dalam hierarki sebagai bagian dari inti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Namun karena penampilan kekuasaan lebih menojol daripada berdasarkan hukum, akibatnya daerah tidak memiliki kepastian. Untuk menjalankan pemerintahan di daerah, sering kali menggunakan metode kolaborasi sepanjang tidak mendapat sanksi. Rujukan pembentukan peraturan daerah merujuk pada peraturan pembentukan perundang-undangan tetapi proses executive preview dan executive review juga dijalankan. Kadang pula judicial review juga menimpa peraturan daerah.

C. Asas Lex Superiori Derogad Lex Inferiori
Peraturan yang lebih tinggi melemahkan peraturan yang lebih rendah. Asas ini tidak lepas dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tetapi menjalankan asas ini tidaklah mudah sekaran ini, peraturan daerah sering kali harus menyesuaikan dengan peraturan menteri yang jelas tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, malah banyak dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan peraturan menteri yang ditempatkan di atas peraturan daerah.
Seharunya dalam tata kepemerintahan yang baik (good governance), jika pemerintah pusat ingin membuat suatu peturan perundang-undangan yang akan mengikat sampai ke daerah atau ditujukan kepada daerah di seluruh Indonesia, jangan melepas kekuasaan menteri untuk membuat peraturan menteri, tetapi melalui mekanisme hierarki, yaitu undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Peraturan menteri mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya pada kementerian yang bersangkutan. Peraturan menteri yang dibentuk dengan alasan bahwa menteri adalah pembantu presiden dengan menempatkan seolah-olah seperti presiden yang dapat mengatur daerah melalui peraturan menteri adalah penampilan sisi kekuasaan daripada sisi negara berdasar hukum. Seharunya menteri menjadi konseptor dari suatu peraturan yang akan mempunyai kekuatan hukum mengikat daerah, bentuknya bisa undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
D. Asas Lex Priori Derogad Lex Posteriori
Peraturan yang baru melemahkan peraturan yang lama. Setiap diundangkan suatu peraturan baru, maka dalam diktum penutup biasanya dicantumkan frase mencabut dan menyatakan peraturan lama yang sejenis. Adakalnya frase dalam diktum penutup tersebut tidak demikian, maka agar tidak terjadi dua aturan yang sama, berlaku asas peraturan yang baru melemahkan peraturan yang lama.
Dalam persoalan masa jabatan perangkat desa di daerah, dalam pembentukan perda dicantumkan pada pasalnya frase masa jabatan sampai usia 60 (enam puluh tahun). Di pasal yang lain pada ketentuan penutup ada frase yang membatasi perangkat yang diangkat berdasar perda yang lama dengan masa jabatan periodisasi 10 (sepuluh tahun) tetap menjalankan tugas sampai masa jabatan 10 (sepuluh tahun) selesai dan tidak berlaku ketentuan masa jabatan berdasarkan perda baru sampai usia 60 (enam puluh) tahun. Pasal selanjutnya dalam ketentuan penutup perda yang lama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Norma dalam perda ini tidak benar, karena adanya peraturan baru dengan norma baru yang mengatur masa jabatan sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun, sementara perangkat desa yang telah ada diberlakukan norma perda yang lama yang telah secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Seharusnya berdasarkan asas lex priori derogad legi posteriori, maka perangkat desa yang telah ada, walau diangkat berdasarkan perda lama, berlaku ketentuan norma baru bahwa masa jabatannya menjadi sampai usia 60 (enam puluh) tahun. Peraturan yang lama tidak dapat diberlakukan karena sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku atau tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (lex inferpakta).