Kamis, 04 Agustus 2011

MAHKAMAH KONSTITUSI TIDAK KONSISTEN

Memperhatikan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Amanat Pasal 24C ayat (1) sejalah dan pelaksanaan Pasal 1 ayat (2), yaitu: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan harapan besar untuk bersandarnya banga Indonesia agar tetap terjaga kehidupan berbangsa dan bernegara selalu bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari amanat Undang-Undang Dasar, ternyata Mahkamah Konstitusi belum menjalankan dengan benar. Salah satu bukti tersebut adalah tidak patuhnya untuk menyebut Undang-Undang Dasar dengan benar, apalagi menyebut Undang-Undang.
Contoh kekurang cermatan dan tidak konsisten menyebut Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006, pada halaman 3 romawi I, tertulis: “Pasal 24C Ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.....”
Dengan metode penulisan tersebut dapat dimaknai Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimaksud adalah terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan.
Seharusnya penulisan yang benar adalah: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa frasa “Perubahan Ketiga”.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 133/PUU-VII/2009, pada halaman 2 romawi I angka 2, tertulis: “Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945......”
Metode penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan UUD 1945 jelas tidak konstitusional karena tidak sesuai dengan konstitusi yang menyebut dengan UUD saja. Penulisan penyebutan berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 4/PUU-VII/2009, pada halaman 2 romawi I, tertulis: “Bahwa Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945)......”
Metode penulisan sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006 dengan tambahan frase “(selanjutnya UUD 1945)”. Pemaknaan perubahan ketiga terpisah dari Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan dan penambahan frase yang tidak jelas maksudnya, disebut atau disingkat.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-VIII/2010, pada halaman 2 romawi I angka 2, tertulis: “Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945......”
Metode penulisan sekali lagi berbeda dengan penulisan pada putusan sebelumnya, jelas hal ini adalah bukti tidak konsisten dalam penulisan.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, pada halaman 4 huruf A angka 1, tertulis: “Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)......”
Metode penulisan yang seakan tidak memahami, bahwa konstitusi telah berubah dengan amandemen menjadi Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, artinya dasar lahirnya Mahkamah Konstitusi pun tidak dipahami.
Rujukan Pasal 24 ayat (2) adalah tidak cermat dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi. Putusan-Putusan sebelumnya selalu merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) sebagai dasar kewenangan mengadili, sedangkan Pasal 24 ayat (2) adalah dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pencermatan terhadap penulisan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang tidak cermat dan tidak konsisten, maka patut dan layak untuk dipertanyakan bersandarnya harapan berbangsa dan bernegara selalu merujuk pada konstitusi yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal tersebut baru pada Putusan, jika diperhatikan pada salah satu Ketetapan Nomor: 106/PUU-VII/2009 dalam konsideran menimbang huruf a, tertulis:
“.......perihal Pengujian Pasal 43B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.......”
Ada dua hal yang tidak cermat, yaitu:
Pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya ada dua Pasal yaitu Pasal I tentang perubahan dan Pasal II berisi penutup, seharunya penulisannya adalah perihal Pengujian Pasal 43B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kedua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, tetapi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian catatan kecil ini, semoga Mahkamah Konstitusi dapat menjadi sandaran harapan agar dalam berbangsa dan bernegara selalu dalam koridor konstitusi.
Jombang, 27 Juli 2011
Gatut Wijaya, SH., M.Hum.
Kabag Hukum Setdakab Jombang.

Senin, 02 Mei 2011

DIMANA ENGKAU KEPASTIAN HUKUM

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, dari kalimat tersebut dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bahasa tutur sehari-hari disimpulkan bahwa negara kita adalah negara hukum. Pernyataan tersebut telah menjadi dogma warga negara Indonesia, namun dalam realitas sosial timbul diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan. Sebenarnya dalam ilmu hukum dikenal dengan idee das recht, yaitu hukum dalam kehidupan masyarakat harus memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi kemanusiaan.
Timbulnya diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan merupakan kewajaran akibat dari dogma negara hukum. Kepastian hukum seharusnya didapat dari hukum tertulis yaitu Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seharusnya terjadi penurunan derajad diskursus utamanya masalah kepastian hukum. Namun realitanya diskursus kepastian hukum malah menjadi-jadi dan seakan-akan semakin menggurita (kalau tidak dikatakan lebih parah). Keadaan yang demikian menjadi menarik di negara yang menyatakan berdasarkan hukum dalam konstitusinya.

Tidak taat azas
Pada saat diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terbit pula harapan akan adanya kepastian dari peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, karena dalam Undang-Undang tersebut telah jelas mengatur bagaimana membuat peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum lebih mantap dengan adanya Pasal 7 yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Masuknya Peraturan Daerah dalam hierarki lebih dari pengakuan hukum terhadap Peraturan Daerah sebagai Perundang-undangan dan termasuk dalam Peraturan Daerah adalah Peraturan Desa.
Namun pada tahun 2004 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dalam BAB VI Pasal sampai dengan Pasal 136 mengatur tentang Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Undang-Undang 32 Tahun 2004 jelas mereduksi aturan khusus yang mengatur pembuatan peraturan perundang-undangan. Hal ini awal dari idikator tidak taat azas dan mereduksi upaya menciptakan kepastian hukum, karena dalam UU 10 Tahun 2004 tidak mengenal adanya lembaga evaluasi dan klarifikasi, seharusnya dengan penyataan Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan, maka harus konsisten terhadap sistem hukum, yaitu bilamana peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum, maka mekanismenya adalah dengan judicial review melalui gugatan kepada Mahkamah Agung sebagi proses hukum (due process of law) bukan dengan dibatalkan oleh Presiden atau Menteri dalam mekanisme executive review. Keruwetan ini belum pernah dipermasalahkan dengan melakukan uji materiil terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 khusus mengenai pengaturan pembuatan peraturan daerah, karena tidak ada pemerintah daerah yang mempunyai legal standing untuk melakukan gugatan judicial review, karena dalam mengajukan gugatan berlaku asas siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan (point d’interst point d’action). Walau UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi salah satu UU yang paling sering diajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tetapi belum ada yang menggugat berkaitan dengan pengaturan pembuatan Perda.
Dengan tidak adanya gugatan berkaitan dengan pembuatan Perda, artinya UU Nomor 32 tahun 2004 telah mempunyai kekuatan berlaku jika mengacu pada teori pengakuan (anerkennungstherorie) namun menurut teori keuatan berlaku filosofis (filosofische geltung), maka harus dikaji UU tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif tertinggi (uverpositiven werte). Dari segi keabsahan (rechtimatigheid) tidak dipungkiri UU tersebut sah, tetapi yang belum mendapatkan jawaban dan pejelasan yang memuaskan adalah dari segi tujuan dan manfaatnya (doelmatigheid). Apakah tidak adanya judicial review karena pemerintah daerah telah mendapatkan manfaat dari UU Nomor 32 Tahun 2004 yang tidak mensyaratkan adanya naskah akademik dan uji publik terhadap peraturan daerah? Masih memerlukan penelusuran dan penelitian lebih cermat.

Lex dura set tamen scripta
Hukum memang kejam, namun demikianlah bunyi undang-undang (Lex dura set tamen scripta) azas ini dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum dari hukum tertulis (undang-undang). Persoalannya adalah bila peraturan perundang-undangan itu sendiri tidak memberikan kepastian dengan adanya pertentangan antar peraturan perundang-undangan itu sendiri. Menurut ilmu hukum bila terjadi pertentangan maka harus kembali ke azas, tetapi muncul persoalan lain bila ada kesulitan antar peraturan yang saling bertentangan dan keduanya merasa menjadi peraturan yang mengatur secara khusus (keduanya lex specialis). Lebih jauh kesulitan tersebut dengan adanya delegasi pengaturan sebagai penjabaran UU tidak kepada peraturan di bawahnya tetapi di luar hierarki, sebagai contoh UU memberikan delegasi kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut. Delegasi tersebut tidak salah tetapi terlalu jauh rentang kendalinya.
Dengan delegasi yang terlalu jauh cenderung menimbulkan distorsi dalam pelaksanaannya yang menyebabkan adanya reduksi filosofi dari UU induknya. Salah satu contoh, misalnya saat ini hampir semua pemerintah daerah mempermasalahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang memberikan amanat pengelolaan keuangan daerah lanyaknya departemen yang tidak langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga banyak kegiatan yang tidak terakomodir dalam nomenklatur anggaran. Jika dirujuk pada peraturan di atasnya yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1 Tahun 2004, maka semangat atau rohnya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan yang baik, sederhana, efektif dan efisien terdistrosi menjadi rumit, tidak efektif dan boros karena penyesuaian terhadap sistem yang rumit tanpa masa transisi dan tanpa memperhitungkan kemampuan kompetensi aparatur di daerah yang tidak sama dengan departemen, menyebabkan boros dan tidak efektif. Bila ada yang mengumpulkan data dan meneliti terhadap persiapan dan pelaksanaan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang berkaitan dengan perjalanan pejabat Depdagri ke daerah-daerah, pejabat daerah ke Depdagri serta jumlah konsumsi serta alat tulis kantor yang dibelanjakan daerah hanya untuk melaksanakan aturan dari menteri, mungkin akan mencengangkan. Untung saja tidak ada yang mendata dan meneliti. Mengapa harus demikian, ya karena begitulah bunyi undang-undang.
Kepatian hukum itu ada
Jika membaca tulisan di atas, jangan pernah menyimpulkan tidak ada kepastian hukum dalam sistem hukum negara hukum ini. Untuk mencari kepastian hukum dari peraturan yang carut marut, maka ilmu hukum selain asas hukum (seperti asas lex specialis derogat legi generalis/yang khusus melemahkan yang umum, lex posteriori derogat legi priori/yang baru melemahkan yang lama, lex priori derogat legi inferiori/yang utama melemahkan yang asesori) juga memberikan metode penemuan hukum (rechtsviding) salah satunya dengan metode interprestasi atau penafsiran yang dalam ilmu hukum dikenal dengan hermeneutik yuridis. Hal ini jarang digunakan karena memang ilmu hukum yang sering salah ditafsirkan hanya sebagai ilmu peradilan (rechtspraakwetenschap) selama ini tidak diimbangi dengan ilmu pembentukan perundang-undangan (wetgevingswetenchap). Metode penafsiran digunakan untuk membenarkan suatu rumusan (formula) peraturan atau membernarkan suatu analogi. Beberapa metode penafsiran adalah dengan metode argumentum a contrario (yang tidak dilarang berarti boleh, contoh Peninjauan Kembali oleh jaksa, walaupun PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya), metode rechtsverfining (penyempitan hukum).
Jadi ilmu hukum telah memberikan jalan keluar setiap terjadi konflik hukum untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Persoalannya adalah apakah asas dan metode hukum ditaati atau tidak, serta malas atau tidaknya para pelaku hukum untuk belajar dan menerapkan asas dan metode dalam membuat putusan, membuat aturan atau dalam memberikan pendapat hukum. Karena pada hakekatnya hukum yang secara konkrit diartikan peraturan adalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula dari keadaan adanya konflik menjadi tidak ada konflik hukum (asas restituti in integrum). Kepastian hukum ada, hanya persoalan para pelaku hukum mau atau tidak menunjukkan kepada masyarakat, dan membuktikan kepada warga negara dari negara yang berdasarkan hukum ini dimanakah engkau kepastian hukum?.

Rabu, 20 April 2011

Hinung Pratigina

Wadya prajurit Majapahit
Gagah prakosa, sikep gaman wani ing jurit
Sabregodo lumaksono sigrak ing lurung negara
Tumuju aloon-aloon bawera amba
Sesumbar: sak ndumuk bathuk sak nyari bumi
toh nyowo sabelo pati

sang mahapatih Gajahmadha jumeneng anteng
ngematake andhahne sing lagi noto barisan
tangguh dan tanggon tata peni kacawisan
sepi ing gunem, sigap tandang grayang

sang mahapatih paring pepeling
marang para prajuring kang bakal budal labuh negara
wikan tanda sing tansa dieling-eling
sesanti Hinung pratigina!!!!!!!!
Kinucap banter, disaut teges banter proprajurit amboto rubuh
agungno bangsa lan negara klawan rila
uriping kawula mung pasrah lelabuh
ora peduli bakal ndepani bantolo

tekad kang wis mantep
digembol njroning jiwa raga tinali singset
sak ndumuk bathuk sak nyari bumi
toh nyawa sabela pati
Hinung pratigina
Agungno bangsa lan negara

Kamis, 07 April 2011

Tinggar

Wingi udan deres awan drandang
Mangka esuke srengenge trawaca terang
Latar mbale katon reged kaya susuh manuk srigunting
Omah gedong sing karan loji
Bawera ombo sak tlatah kana mung ana siji

Sik kelingan karo sing nguya-nguyu neng ngarep warung soto
Pasar Megaluh pinggir bengawan brantas
Apa ya sik mangkel karo sing nguya-nguya karo karung digawa
Saiki babar kaya jangan waluh ditambah luntas

Turi sisih pingir sawah saiki wis doyong
Katerak angin mongso rendheng
Apa ya sik dipikir ulah sing kaningaya tan tangeh lamun
Bisa ngawe sapadaning titah pada gumun
Laku sulaya sajroning bebrayan

Kaningaya sing ngelikake
Lindu klawan banjir reruwet dikentirake
Sapa sing ala
Ing kana wahyuning sirna
Ora wingi
Ora saiki
Bek menawa sesuk isuk
Keduwung neng ngarep bathuk

Beja ora dinyana
Nanging kabeh kudhu dikanthi rila
Sapa sing enthuk berkah sing barokah
Mung amarga ijabah klawan rena
PROCRUSTES SEBAGAI AWAL MASALAH

Dalam mitologi Yunani, ada seorang bernama Procrustes yang menguasai sebuah jalan dengan memiliki papan ukur setinggi badannya. Siapapun yang lewat akan diukur, jika kurang tinggi akan ditarik dan bila ternyata badannya melebihi papan ukur akan dipotongnya. Procrustes selanjutnya dalam literatur dianalogikan seseorang yang mempunyai standar subjektif dan selalu memandang orang lain dari sisi standar pribadi tersebut serta menginginkan standar pribadinya dipakai orang lain.

Vernum di Antara Superego dan Ego
Jika boleh mencermati permasalah di sekitar kita, maka pelajaran dari mitologi di atas kiranya masih ada relevansinya. Dari persoalan hidup yang sederhana baik dalam keluarga, persahabatan, maupun kehidupan di dalam kerja, adakalanya timbul masalah yang kadangkala sulit dipecahkan bahkan mengarah pada rasa dendam dan permusuhan dengan sesama. Padahal hidup ini sebenarnya sangatlah indah untuk dinikmati, jikalau hidup diartikan sebagai konfigurasi dari berbagai macam sifat dan bentuk dan diri kita menjadi bagiannya dalam mewujudkan keindahan tersebut.
Sebenarnya persoalan tidak harus menjadi masalah yang berlarut-larut. Dalam diri manusia sejak kecil setiap hari ditanamkan nilai-nilai, baik etika (baik-tidak baik), moral (boleh-tidak boleh), agama (berdosa-berpalaha), estetika (indah-tidak indah), nilai hukum (benar-salah) dan masih banyak lagi. Pengalaman (experience) inilah yang dalam filsafat dikenal dengan vernum yang akan mendampingi dan berada diantara ego dan superego. Pengalaman sewaktu kecil tidak akan pernah hilang atau permanen, hal ini mempengaruhi sikap dan perilaku (metal attitude) seseorang, tetapi bukan hal yang mutlak memiliki otoritas menentukan perilaku pada saat dewasa sama persis dengan pengalaman yang didapatkan.
Perjalanan seseorang menjadi dewasa setiap saat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar yang sangat beragam dan luar biasa banyaknya. Hal ini terjadi dalam interaksi sosial dengan lingkungan sekitar maupun pada saat menerima pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan non formal. Pembentukan kepribadian seseorang akan selalu berkembang. Memilih alternatif-alternatif keputusan yang akan diambil mulai banyak dipengaruh, namun pada dasarnya yang namanya hati kecil menpunyai pengaruh dominan tetapi tidak mutlak. Hati kecil inilah pengalaman pada waktu kecil yang penuh dengan nilai-nilai.
Perselisihan adalah adanya selisih pendapat atau sudut pandang seseorang. Perselisihan terbuka disebut juga dengan konflik, sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan. Terjadinya konflik tidaklah penting, yang lebih utama adalah mengelola konflik dan menyelesaikannya. Orang mempunyai pendapat menurut standar subjektif yang telah terbingkai dalam diri karena diambil dari pengalaman-pengalaman yang tersimpan di otak kecil sejak kecil.

Procrustes dan Egois
Penyelesaian konflik memerlukan kompromi-kompromi dengan lawan konflik, maupun dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Konflik yang berlarut-larut jika dicermati lebih pada pendapat yang memaksakan standar yang ada pada diri seseorang agar dipahami oleh orang lain. Sementara tiap-tiap orang mempunyai standar subjektif sendiri-sendiri.
Sikap memaksa orang lain agar menerima hasil interprestasinya telah memenuhi sifat procrustes. Sifat yang tanpa disadari telah menjadi bagian dari metode mengambil keputusan ini terjadi, karena nilai-nilai yang didapat dari pengalaman telah berubah menjadi dogma dalam hidup. Perubahan nilai menjadi dogma cenderung diakibatkan oleh kepanikan dalam menghadapi persoalan yang tidak biasa dihadapi. Kemungkinan lain adalah terlewatkanya sifat manusia secara hakiki sebagai homo homini socius, di mana orang selalu hidup bersama orang lain.
Sifat procrustes mirip sekali dengan sifat egois. Perbedaan hanya pada kadar aktif dan terbuka dari sifat procrustes yang akan berusaha memaksakan pada orang lain, sementara pada sifat egois kadang memilih diam dan cenderung apatis dan mungkin juga skeptis. Namun dua-duanya memiliki konotasi dan nilai yang kurang baik berdasarkan standar umum, walau egois dapat diterima oleh sebagian orang karena kadang muncul apatis tidak menganggu orang lain.

Menghindari Sifat Procrustes
Kepentingan biasanya dijadikan alasan utama seseorang harus mempertahankan dan memaksakan pendapat dan keputusannya. Mempetahankan pendapat dan keputusan masih wajar dan dapat diterima secara umum karena sebagai sifat hakiki tiap manusia normal. Ketika memaksakan kepada orang lain, maka telah memasuki difinisi sifat procrustes. Untuk menghidari sifat procrustes setidaknya orang harus tidak panik dalam mengahadipi setiap persoalan dalam hidup. Salah satu caranya adalah dengan membiasakan konflik dan berusaha menyelesaikan melalui kompromi dengan persoalan itu sendiri. Kemudian menyadari, bahwa kita bukan satu-satunya orang yang memiliki persoalan karena tiap-tiap orang juga mempunyai persoalan yang berbeda. Menyadari perbedaan akan dapat membantu menyelesaikan masalah tanpa dihinggapi sifat procrustes.
Jadi intinya adalah kesadaran diri terhadap perbedaan tiap manusia menjadi kunci menghindari sifat procrustes. Sekali lagi jangan panik dengan persoalan hidup, biasakan untuk melakukan konflik. Terlatih dalam menyelesaikan persoalan dengan konflik akan menjadikan tidak akan panik jika persolan hidup hadir dihadapan kita. Akhirnya kemauan untuk selalu introspeksi harus ada untuk menghindari salah satu sifat yang kurang baik dalam diri setiap manusia ini. Selamat mencoba.Gatut Wijaya)

Kamis, 24 Maret 2011

Peraturan Presiden Selama Kurun Waktu Tahun 2004-2009
Relatif Tidak Sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Oleh: GATUT WIJAYA*

a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
c. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Empat hal di atas adalah bunyi konsideran Menimbang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Konsideran Menimbang dalam ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting) dikenal dengan pertimbangan filosofis, karena dari pertimbangan tersebut tercermin landasan filosofis mengapa dibentuk peraturan perundang-undangan. Mencermati landasan filosofisnya jelas untuk mewujudkan Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Perspektif Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Keterkaitan dengan ketaatan hukum selama ini cenderung lebih dekat dengan penilaian para jurnalis atau para peneliti lebih pada ketaatan masyarakat dan aparatur hukum, tetapi kurang akurat kiranya jika tidak memperhatikan sosiologis yuridis masyarakat yang masih memberlakukan patron patrilineal dalam kehidupan bermasyarakat dan juga bernegara. Untuk itu tidaklah terlalu berlebihan untuk memcermati suatu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan dari aturan pembentukannya. Memcermati Undang-Undang akan terbawa suasana politik pembentukkannya tetapi untuk mengeliminir pengaruh dan pembelaan politik akan lebih mudah dengan melihat produk peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Presiden.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Di sini jelas Peraturan Presiden sebagai salah satu peraturan perundang-undangan, dan dalam ilmu hukum dikenal dengan asas bahwa semua orang dianggap tahu akan hukum, maka konsisten dengan asas tersebut Pasal 45 mengamanatkan “Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.
Dalam penjelasan Pasal 45 sebagai interprestasi otentik, bahwa “dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut jelas peraturan perundang-undangan harus diundangkan dalam lembaran resmi, karena tanpa diundangkan, maka setiap orang dianggap tidak mengetahuinya. Demikian jika Pasal 45 tersebut diinterprestasikan secara acontrario, sebagaimana interprestasi yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap Pasal Peninjauan Kembali yang disediakan untuk Terpidana atau ahli warisnya tetapi tidak ada larangan Kejaksaan menggunakan upaya hukum luar biasa tersebut.
Peraturan Presiden yang mengenai pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional dan pernyataan keadaan bahaya diundangkan dalam Lembaran Negera Republik Indonesia demikian bunyi Pasal 46 ayat (1) huruf c. Bagaimana dengan Peraturan Presiden yang tidak mengenai hal yang diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, keharusan pengundangan tetap dijalankan dengan menempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Karena lembaran resmi selain Lembaran Negara Republik Indonesia yang tepat adalah Berita Negara Republik Indonesia.
Siapa yang harus melaksanakan pengundangan terhadap Peraturan Presiden? Pasal 48 mengamanatkan, bahwa “Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”.
Sejak kapan Peraturan Perundang-undangan berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat? Pasal 50 menegaskan, bahwa “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.
Peraturan Presiden 2004-3009
Selama kurun waktu 2004-2009 (sampai dengan 25 Mei 2009) telah terbit 327 Peraturan Presiden, dari jumlah tersebut 52 mengenai pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negera lain atau badan internasional dan 2 mengenai pernyataan keadaan bahaya. Sejumlah 54 Peraturan Presiden telah diundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, selebihnya sebanyak 273 Peraturan Presiden tidak pernah diundangkan. Seharusnya peraturan perundang-undangan yang belum apalagi tidak diundangkan mempunyai arti tidak memiliki kekuatan mengikat (lex inferpacta).
Walaupun ada sejumlah Peraturan Presiden telah diundangkan tetapi 327 Peraturan Presiden seluruhnya mencantumkan pemberlakuan dalam ketentuan penutupnya “Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”. Seharusnya adalah “Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada saat diundangkan”. Artinya seluruh Peraturan Presiden selama ini tidak taat asas bahwa sebagai peraturan perundang-undangan seharusnya berlaku atau mempunyai keuatan mengikat pada saat diundangan bukan pada saat ditetapkan.
Tabel Peraturan Presiden Periode 2004-209
No TAHUN SIFAT JUMLAH KETERANGAN
UMUM KHUSUS
1 2004 3 5 5 - sifat khusus adalah yang merupakan Pengesahan atas perjanjian dengan negara lain atau dengan Lembaga Internasional, dan Pernyataan Bencana;
- Sifat khusus adalah yang tidak termasuk sifat khusus;
- Tahun 2009 sampai dengan bulan Mei.
2 2005 57 68 68
3 2006 72 78 78
4 2007 78 85 85
5 2008 47 71 71
6 2009* 16 20 20
TOTAL 52 327 327

Mengapa Peraturan Presiden sebagai peraturan perundang-undangan selama ini tidak taat asas dan tidak taat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Ada dua hal yang dapat dijadikan alasan rasional. Pertama pendidikan hukum di Indonesia khususnya pada tingkat strata 1, walau tidak lagi ada jurusan perdata, pidana, tata negara atau administrasi negara yang ada adalah ilmu hukum, tetapi belum ada yang mengajarkan wetgevingswetenschap atau ilmu pembentukan perundang-perundangan. Jika ada mata kuliah legal drafting sering terjerumus dalam contract drafting. Hal ini tidak lepas dari sejarah hukum, bahwa Indonesia menjalankan hukum tertulis (Perundang-undangan) bermula dengan menjalankan ordonansi tinggalan Belanda, sampai sekarang ada beberapa ordonansi yang masih dijalankan, salah satunya Hindersordonantie/HO (Undang-Undang Ganggunan). Para sarjana hanya belajar bagaimana menjalankan suatu undang-undang (rechtspraahswetenschap) karena yang membentuk ada jauh di Belanda. Sehingga harus dimaklumi jika yang dipelajari adalah hanya apa yang diajarkan oleh dosen serta berpola pikir praktis hasilnya adalah demikian adanya.
Kedua adalah masih lemahnya komitmen untuk menjalankan negara berdasar atas hukum. Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas dan tegas mengamanatkan, bahwa Peraturan Presiden sebagai peraturan perundang-undangan harus diundangkan agar mempunyai kekuatan mengikat dan semua orang tahu. Dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, ternyata dibiaskan dan dibelokkan. Pada tataran ini telah terjadi affective fallancy, sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan: “Pengundangan Peraturan Presiden dilakukan sepanjang mengenai: a. pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; atau b. pernyataan keadaan bahaya”. Kalimat ‘sepanjang mengenai’ memiliki makna ‘hanya mengenai’. Hal ini dapat diartikan, bahwa Peraturan Presiden tidak perlu diundangkan selain berkaitan dengan pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; atau pernyataan keadaan bahaya. Dengan demikian Pasal 9 ayat (4) tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diacunya yaitu Undang-Undang Nomor 10 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang jelas memasukkan Peraturan Presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan dengan segala konsekwensi yuridisnya.
Masih bisakah Presiden selanjutnya memberikan contoh yang baik dalam berkomitmen menjalankan negara berdasar atas hukum dengan taat asas dan taat hukum dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Saya optimis, yes we can’t believe!

*Gatut Wijaya, Ketua RW 13 Desa Canimulyo Jombang Jawa Timur.