Kamis, 15 Maret 2012

KABUT TIPIS PAGI GERIMIS

Remang dan temaram di hari menjelang fajar
Matahari di balik awan enggan bersinar
Kabut tipis menyelimuti pagi
Kota dengan pepohonan nan asri

Langkah kecil menyusuri jalanan
Mbok bakul dengan rinjing di gendongan
Tanpa omelan dan keluh
Selalu semangat dan harapan yang penuh

Jalan berlubang bukan halangan
Lampu jalan yang jadi panjangan bukan pula urusan
Selama diberikan kesempurnaan raga
Kesehatan akan dijaga

Di persimpangan nan ramai
Kendaraan saling mendahului
Semua tak mau terlambat
Segala cara diembat

E mbok bakul terus menyusuri jalan
Sesekali menghindar trotoar rusak berantakan
Sesekali pula dipepet kendaraan
E mbok bakul malah tersenyum, edan

Dekat pasar di seberang
Melintas jalan perlu nyali garang
Kendaraan tak mau kalah
Mbok bakul juga tak mau menyerah

Sabar mbok bakul sabar
Dari pada kendaraan menyambar
Pasar sudah dekat
Tempat menitip harapan tajam dilihat

Becek dan kumuh
Tak ada aliran air mengenang keruh
Dekat tumpukan sampah dagangan digelar
Wajah berseri mata berbinar

Mbok bakul menunggu bukan menanti
Dagangan yang ditunggu sampai nanti
Menanti pembeli bukan tujuan
Dagangan terjual adalah harapan

Jumat, 02 Maret 2012

MASA JABATAN PERANGKAT DESA DI JOMBANG

Sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seluruh kabupaten/kota telah membentuk banyak peraturan daerah yang mengatur mengenai desa. Salah satu peraturan daerah mengatur pemerintah desa, di dalamnya memberikan mekanisme sistem pemerintah desa yang meliputi tata kerja pemerintah desa, tugas dan wewenang kepala desa dan perangkat desa, mekanisme kepala desa diangkat dan diberhentikan, dan mekanisme perangkat desa diangkat dan diberhentikan. Pada materi masa jabatan kepala desa, semua peraturan daerah dapat dengan mudah merujuk pada ketentuan Pasal 56 PP 72 Tahun 2005. Demikian pula di Jombang berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2006, masa jabatan perangkat desa adalah 6 tahun. Pada materi masa jabatan perangkat desa timbul persoalan hukum dalam Perda 6 tahun 2006, karena sempurnanya beberapa pasal yang mengatur. Untuk menguraikan menurut hukum ada beberapa hal yang perlu dijadikan bahan kajian agar lebih cermat dan dapat menyelesaikan masalah hukum.
Menurut PP 72 Tahun 2005
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 26 PP 72 Tahun 2005, terdapat beberpa norma hukum di dalamnya, yaitu:
1. perangkat desa berasal dari penduduk desa setempat;
2. perangkat desa diangkat dengan keputusan kepala desa;
3. usia perangkat sekurang-kurangnya 20 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun;
4. mekanisme pengangkatan perangkat desa lainnya diatur dalam peraturan daerah, yang sekurang-kurangnya mengatur:
a. persyaratan calon;
b. mekanisme pengangkatan;
c. masa jabatan;
d. kedudukan keuangan;
e. uraian tugas;
f. larangan, dan
g. mekanisme pemberhentian.
Perangkat desa lainnya adalah perangkat desa selain sekretaris desa yang telah diatur tersendiri dengan PP 45 Tahun 2007. Jadi yang diatur adalah perangkat desa selain sekretaris desa. Perangkat desa berasal dari desa setempat mengandung arti penghargaan dan penghormatan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Pengangatan dengan keputusan kepala desa, suatu yang wajar dan sebagai norma penegasan. PP memberikan rambu usia perangkat antara 20 sampai dengan 60 tahun, masa jabatan seharusnya diatur tersendiri dalam penormaan. Jika merujuk pada masa jabatan kepala desa yang dinormakan dalam periodisasi atau dengan periode tertentu, yaitu 6 tahun. Seharusnya masa jabatan perangkat desa juga diatur berdasarkan periodisasi. Demikian menurut PP 72 Tahun 2005.
Norma dalam Perda 6 Tahun 2006
Terkait masa jabatan perangkat desa, Pasal 36 Perda 6 Tahun 2006 menentukan sampai dengan usia 60 tahun. Norma masa jabatan ini ada beberapa kekurang sempurnaan, amanat Pasal 26 PP 72 Tahun 2005 telah dilaksanakan dengan mengatur masa jabatan, usia 60 tahun bukan suatu masa jabatan. Hal ini berbeda dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang pensiun pada usia 56 tahun, dan bukan suatu masa jabatan. Masa jabatan seharusnya dinormakan dalam suatu periodisasi dalam kurun waktu tertentu, dengan norma masa jabatan tersebut tidak melebihi batas usia perangkat 60 tahun. Ketentuan Pasal 36 Peda 6 Tahun 2006 walau kurang cermat dalam menjabarkan ketentuan Pasal 26 PP 72 Tahun 2005 adalah norma hukum yang berlaku, dan berlaku asas rechtmatigheid. Norma yang harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya, karena Perda sebagai produk perundang-undangan telah dibuat oleh lembaga yang berwenang membuat dan telah dilakukan executive preview serta telah diundangkan secara resmi.
Oleh karena Pasal 36 Perda 6 Tahun 2006 merupakan norma hukum resmi, dan pada saat diundangkan ada perangkat desa yang telah ada dan menjalankan tugas berdasarkan perda lama, seharusnya berlaku asas indubio proreo. Adanya perda baru, maka perangkat desa yang telah ada berlaku pula ketentuan yang baru yang menguntungkan, demikian menurut hukum. Norma dalam Pasal 36 Peda 6 Tahun 2006 tidak bersifat obiter dictum tetapi omnibus dictum, yaitu mempunyai daya berlaku untuk semua yang ada, yang telah ada maupun yang akan ada. Norma tersebut tidak dapat diberlakukan hanya terhadap perangkat desa yang akan ada, sementara perangkat yang telah ada diperlakukan perda yang lama, hal ini menyalahi asas dan perda yang lama jelas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi (lex inferfakta) dengan adanya perda baru. Dengan demikian seharusnya pada saat diundangkan Peda 6 Tahun 2006 seluruh perangkat desa masa jabatannya sampai usia 60 tahun.
Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 mementahkan dan menyimpangi ketentuan Pasal 36 Peda 6 Tahun 2006, dengan memberikan norma berlaku terhadap perda lama. Norma dalam ketentuan Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 yang memberlakukan perda lama jelas menurut hukum ada beberapa asas yang dikesampingkan. Pertama asas larangan retroaktif, dalam pembetukan peraturan perundang-undangan diseluruh dunia ada larangan menggunakan asas retroaktif sebagaimana deklarasi universal of human right. Kedua asas lex posteriori derogat legi priori, peraturan yang baru melemahkan peraturan yang lama. Dengan diundangkan Perda 6 Tahun 2006, perda mempunyai kekuatan hukum mengikat dan perda lama yang digantikan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan kedua asas tersebut, maka menurut hukum seharusnya Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (lex inferfakta). Tidak adanya kekuatan hukum mengikat Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 ditegaskan pada Pasal 48 Perda 6 Tahun 2006 yang jelas mencabut dan menyatakan tidak berlaku perda lama.
Doormatie statutory
Besikap terhadap kerancuan norma dalam ketentuan Perda 6 Tahun 2006, DPRD menerbitkan surat rekomendasi kepada Bupati. Selanjutnya Bupati menerbitkan Surat Edaran (SE), yang isinya tidak lain adalah rekomendasi DPRD. Isi rekomendasi dan SE adalah menghentian proses pemberhentian perangkat desa yang menjabat berdasarkan perda lama dengan masa jabatan periodisasi. Pertimbangan terbitnya Rekomendasi dan SE adalah memberikan waktu kepada pembentuk peraturan untuk menyempurnakan norma yang rancu dalam Perda 6 Tahun 2006. Hal ini perlu karena kemungkinan adanya gugatan administrasi terhadap kepala desa yang memberhentikan perangkat desa berdasar ketentuan Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 dengan alasan norma tersebut mengadung asas retroatif, tidak sesuai asas posteriori derogat legi priori, dan asas indubio proreo.
Menurut ilmu hukum, penangguhan pelaksanaan suatu norma hukum oleh pembentuk hukum dapat dibenarkan dengan suatu status penangguhan atau menurut bahasa hukum adalah doormatie statutory. Presiden dan DPR RI pernah melakukan penangguhan pelaksanaan norma UU nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan sampai dengan penyempurnaan dengan UU nomor 13 Tahun 2004. Dengan demikian rekomendasi DPRD dan SE Bupati harus diartikan sebagai bentuk doormatie statutory.
Ranah Pidana
Adanya kerancuan norma hukum dalam Perda 6 Tahun 2006 ada yang menilai dari aspek pidana terutama bagi perangkat desa yang telah menjabat sebelum adanya perda baru dan berdasarkan perda lama masa jabatannya menggunakan periodisasi serta telah berakhir masa jabatannya namun masih tetap menjalankan tugasnya sebagai perangkat desa. Mengarahkan kerancuan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur administratif dengan aspek pidana khususnya pidana korupsi, sangat tidak relevan dan terlalu dini. Ketika Yusril melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait jabatan Jaksa Agung, tidak sedikitpun adanya kajian dari aspek pidana, karena hal tersebut murni tataran administrasi. Jika ada yang mengaitkan kerancuan norma peraturan perundang-undangan dengan aspek pidana, maka perlu untuk dikesampinkan jalan pemikiran yang tidak berdasarkan ilmu hukum.

Senin, 06 Februari 2012

ILMU MEMBACA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan, demikian amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum (rechtstaat) artinya negara yang berdasarkan atas hukum, artinya negara dibangun berlandaskan suatu ide hukum (idee das recht) yaitu bagaimana kehidupan bernegara selalu berfokus pada kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum salah satunya adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Namun terlalu banyak peraturan perundang-undangan akan menciptakan negara undang-undang (wetstaat). Kenyataan empiris negara Indonesia banyak sekali adanya undang-undang sampai-sampai adanya Mahkamah Konstitusi yang selalu kebanjiran uji materi terhadap Undang-undang. Parahnya, banyak uji materi yang dikabulkan, atau dengan kata lain banyak undang-undang di negeri ini yang tidak berdasar konstitusi atau norma yang diatur dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Postulat ini mencerminkan pemahaman pembentuk undang-undang terhadap konstitusi sebagai dasar negara hukum relatif tidak begitu baik.
Pada tataran undang-undang telah terjadi pelanggaran konstitusi, apalagi pada tataran peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang: mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai peraturan daerah. Tidaklah mungkin melakukan uji materi seluruh produk perundang-undangan, namun di sisi lain adanya peraturan perundang-undangan yang melanggar konstitusi, bertentangan dengan peraturan sejenis, apalagi dalam peraturan ada norma antar pasal yang saling bertentangan. Hal ini bukan suatu yang mustahil, karena dari rujukan yang diacu yaitu undang-undang telah banyak yang melanggar konstitusi dan saling bertabrakan pula.
Apapun yang terjadi begitulah bunyi undang-undang atau hukum itu kejam demikianlah yang tertulis sebagai arti harfiah adagium lex dura set tamen scrita. Hal tersebut tidak dapat ditelaah secara denotatif, perlu juga ditelaah secara konotatif. Maksud dari kalimat tersebut sebenarnya adalah untuk memberikan kepastian terhadap suatu aturan hukum tertulis, agar semua orang taat terhadap norma-norma hukum yang terkandung dan tidak melakukan interprestasi yang semaunya sendiri, karena interprestasi harus ada rambu-rambu sebagai kemauan semua orang. Asas universal hukum adalah the greatest number the greatest happiness, keadilan hukum adalah keadilan yang harus dirasakan sebagai kebahagiaan oleh sebagian besar orang, bukan keadilan yang hanya dirasakan bahagia oleh sebagian kecil orang.
Dari carut marutnya penyusunan norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan bukan berarti harus skeptis dan apatis terhadap semangat untuk menjadi negara yang berdasarkan hukum. Untuk itu perlu belajar cara menyelesaikan masalah pertentangan antar peraturan perundang-undangan maupun pertentangan norma pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan. Ilmu hukum tidak hanya mengajari ilmu beracara di pengadilan belaka atau recht spraks wetten schape, ilmu hukum juga mengajari ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan atau wet geving wetten schape. Dalam ilmu hukum diajarkan ilmu hierarki peraturan perundang-undangan maupun asas-asas hukum. Dengan mamahami hierarki dan asas hukum, maka segala persoalan penerapan suatu peraturan perundang-undangan dapat diselesaikan. Dengan demikian carut marut peraturan perundang-undangan maupun norma-norma dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat diurai menurut ilmu hukum pula.
A. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Hierarki adalah susunan tingkatan, penggolongan secara vertikal. Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hakekat hierarki adalah memberikan landasan formal suatu susunan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan dari yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah. Namun demikian hierarki inipun juga terlalu sering ditabrak, dilanggar, diinjak-ijak, dan dianggap sebagai hiasan dalam negara hukum oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan. Jika konsisten dengan adanya hierarki sebagai konsekwensi negara hukum, maka saharusnya tidak ada aturan yang mendelegasikan kepada aturan yang jauh di bawahnya, atau seharusnya tidak terjadi aturan mendelegasikan kepada suatu produk hukum yang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan contoh yang tidak mendidik dan tidak mencerminkan proses yang sesuai dengan ilmu hukum dan ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan. Perhatikan ketentuan pasal-pasal delegatif sebagai berikut:
- Pasal 21 ayat (6) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 29 mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 36 ayat (5) mendelegasikan kepada peraturan gubernur;
- Pasal 46 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan DPR;
- Pasal 47 ayat (4) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 53 mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 54 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 55 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 59 mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 64 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan presiden;
- Pasal 70 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan DPR;
- Pasal 75 ayat (4) mendelegasikan kepada peraturan DPRD provinsi;
- Pasal 76 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan DPRD provinsi;
- Pasal 98 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
Dari banyaknya pasal delegatif, hanya pasal 98 ayat (2) yang benar dan seharusnya demikian menurut ilmu hierarki, pasal delegatif yang lain tidak benar dan tidak taat serta tidak konsisten dengan hierarki. Tidak taat dan tidak konsisten dilakukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan, di negara yang berdasarkan atas hukum, luar biasa.
Pasal delegatif dari undang-undang yang tidak taat terhadap hierarki ada yang lebih parah seperti sampah yang berserakan tidak dikelola dengan baik. Perhatikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dengan pasal-pasal delegatif sebagai berikut:
- Pasal 2 ayat (5) mendelegasikan kepada peraturan menteri;
- Pasal 9 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan menteri;
- Pasal 11 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 12 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 16 mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 17 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 18 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 20 ayat (5) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 21 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 22 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 23 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 24 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 25 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 25 ayat (4) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah;
- Pasal 26 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan menteri;
- Pasal 28 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah dan peraturan daerah:
- Pasal 29 ayat (2) mendelegasikan kepada peraturan pemerintah;
- Pasal 29 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 31 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
- Pasal 32 ayat (3) mendelegasikan kepada peraturan daerah;
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal-pasal delegatif tidak dijumpai yang mendelegasikan kepada peraturan presiden seperti kebiasaan pembentukan undang-undang yang lain. Konfigurasi pendelegasian yang tidak ada ukuran baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mencerminkan nuansa penampilan kekuasaan lebih terasa dari pada ukuran baku berdasarkan hukum termasuk konsitensi terhadap hierarki.
Dari dua undang-undang tersebut mencerminkan adanya pasal-pasal delegatif yang rancu tidak konsisten terhadap hierarki bertebaran dalam peraturan perundang-undangan di negara yang berdasarkan atas hukum. Tidak salah bila ada anekdot, negara maju semua telah diatur, tetapi di negeri ini semua bisa diatur. Malu atau memalukan jika nuansa kekuasaan masih melekat pada negara yang menyatakan sebagai negara yang tidak berdasakan kekuasaan belaka (macht staat).
Seharusnya atau seyogyanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hierarki adalah ukuran baku yang harus dijadikan pedoman secara konsisten. Peraturan hanya dapat mendelegasikan kepada peraturan yang setingkat di bawahnya, undang-undang hanya dapat mendelegasikan kepada peraturan pemerintah, demikian pula seterusnya. Pendelegasian juga harus terhadap peraturan perundangan-undangan di bawahnya, tidak kepada peraturan yang tidak masuk dalam hierarki. Undang-undang tidak seharusnya mendelegasikan kepada peraturan presiden karena secara hierarki peraturan satu tingkat di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah.
Hierarki adalah susunan secara bertingkat, undang-undang tidak dapat mendelegasikan kepada peraturan menteri, karena peraturan menteri tidak masuk dalam hierarki. Apalagi undang-undang mendelegasikan kepada peraturan daerah, pelanggaran asas ketaatan pada susunan tingkatan hierarki. Peraturan menteri tidak termasuk hierarki, kedudukanya diakui sepanjang delegatif dari peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi kerancuan dalam tata hukum di Indonesia, seharunya dengan asas otonomi menteri tidak lagi membentuk peraturan yang mengikat sampai ke daerah. Peraturan menteri seharusnya hanya berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat (lex inferpakta) pada lingkup kementerian yang bersankutan. Peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat daerah seharusnya hanya yang termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
B. Asas Lex Generalis Derogad Lex Specialis
Peraturan yang bersifat umum dilemahkan oleh peraturan yang peraturan yang bersifat khusus. Asas ini digunakan manakala ada dua peraturan yang sejenis dan setara dalam satu tingkatan hierarki. Sekarang sulit untuk menggunakan asas ini, seringkali persoalan dihadapkan pada peraturan yang tidak jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di dalamnya mengatur tentang pembentukan peraturan daerah yang menganut sistem evaluasi dan klarifikasi sebelum diundangkan (executive preview) dan pembatalan setelah diundangkan executive review, sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga mengatur tentang pembentukan peraturan daerah menganut sistem pembatalan melalui uji materi di pengadilan (judicial review) yaitu uji materi undang-undang pada Mahkamah Konstitusi dan peraturan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Tidak ada ketegasan mana dari dua undang-undang tersebut yang umum atau khusus. Keduanya diposisikan pada yang khusus. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai sifat khusus karena mengatur khusus pemerintahan daerah, demikian juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mempunyai sifat khusus karena mengatur khusus pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kembali lagi negara yang berdasar hukum ini ditunjukkan suatu penampilan kekuasaan belaka. Seharusnya menurut hukum, jika Undang-Undang 32 Tahun 2004 khusus mengatur pemerintah daerah, tidak perlu di dalamnya mengatur pembentukan peraturan daerah yang jelas termasuk dalam hierarki sebagai bagian dari inti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Namun karena penampilan kekuasaan lebih menojol daripada berdasarkan hukum, akibatnya daerah tidak memiliki kepastian. Untuk menjalankan pemerintahan di daerah, sering kali menggunakan metode kolaborasi sepanjang tidak mendapat sanksi. Rujukan pembentukan peraturan daerah merujuk pada peraturan pembentukan perundang-undangan tetapi proses executive preview dan executive review juga dijalankan. Kadang pula judicial review juga menimpa peraturan daerah.

C. Asas Lex Superiori Derogad Lex Inferiori
Peraturan yang lebih tinggi melemahkan peraturan yang lebih rendah. Asas ini tidak lepas dari hierarki peraturan perundang-undangan. Tetapi menjalankan asas ini tidaklah mudah sekaran ini, peraturan daerah sering kali harus menyesuaikan dengan peraturan menteri yang jelas tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, malah banyak dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan peraturan menteri yang ditempatkan di atas peraturan daerah.
Seharunya dalam tata kepemerintahan yang baik (good governance), jika pemerintah pusat ingin membuat suatu peturan perundang-undangan yang akan mengikat sampai ke daerah atau ditujukan kepada daerah di seluruh Indonesia, jangan melepas kekuasaan menteri untuk membuat peraturan menteri, tetapi melalui mekanisme hierarki, yaitu undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Peraturan menteri mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya pada kementerian yang bersangkutan. Peraturan menteri yang dibentuk dengan alasan bahwa menteri adalah pembantu presiden dengan menempatkan seolah-olah seperti presiden yang dapat mengatur daerah melalui peraturan menteri adalah penampilan sisi kekuasaan daripada sisi negara berdasar hukum. Seharunya menteri menjadi konseptor dari suatu peraturan yang akan mempunyai kekuatan hukum mengikat daerah, bentuknya bisa undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
D. Asas Lex Priori Derogad Lex Posteriori
Peraturan yang baru melemahkan peraturan yang lama. Setiap diundangkan suatu peraturan baru, maka dalam diktum penutup biasanya dicantumkan frase mencabut dan menyatakan peraturan lama yang sejenis. Adakalnya frase dalam diktum penutup tersebut tidak demikian, maka agar tidak terjadi dua aturan yang sama, berlaku asas peraturan yang baru melemahkan peraturan yang lama.
Dalam persoalan masa jabatan perangkat desa di daerah, dalam pembentukan perda dicantumkan pada pasalnya frase masa jabatan sampai usia 60 (enam puluh tahun). Di pasal yang lain pada ketentuan penutup ada frase yang membatasi perangkat yang diangkat berdasar perda yang lama dengan masa jabatan periodisasi 10 (sepuluh tahun) tetap menjalankan tugas sampai masa jabatan 10 (sepuluh tahun) selesai dan tidak berlaku ketentuan masa jabatan berdasarkan perda baru sampai usia 60 (enam puluh) tahun. Pasal selanjutnya dalam ketentuan penutup perda yang lama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Norma dalam perda ini tidak benar, karena adanya peraturan baru dengan norma baru yang mengatur masa jabatan sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun, sementara perangkat desa yang telah ada diberlakukan norma perda yang lama yang telah secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Seharusnya berdasarkan asas lex priori derogad legi posteriori, maka perangkat desa yang telah ada, walau diangkat berdasarkan perda lama, berlaku ketentuan norma baru bahwa masa jabatannya menjadi sampai usia 60 (enam puluh) tahun. Peraturan yang lama tidak dapat diberlakukan karena sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku atau tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (lex inferpakta).

Kamis, 04 Agustus 2011

MAHKAMAH KONSTITUSI TIDAK KONSISTEN

Memperhatikan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Amanat Pasal 24C ayat (1) sejalah dan pelaksanaan Pasal 1 ayat (2), yaitu: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan harapan besar untuk bersandarnya banga Indonesia agar tetap terjaga kehidupan berbangsa dan bernegara selalu bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari amanat Undang-Undang Dasar, ternyata Mahkamah Konstitusi belum menjalankan dengan benar. Salah satu bukti tersebut adalah tidak patuhnya untuk menyebut Undang-Undang Dasar dengan benar, apalagi menyebut Undang-Undang.
Contoh kekurang cermatan dan tidak konsisten menyebut Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006, pada halaman 3 romawi I, tertulis: “Pasal 24C Ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.....”
Dengan metode penulisan tersebut dapat dimaknai Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimaksud adalah terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan.
Seharusnya penulisan yang benar adalah: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa frasa “Perubahan Ketiga”.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 133/PUU-VII/2009, pada halaman 2 romawi I angka 2, tertulis: “Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945......”
Metode penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan UUD 1945 jelas tidak konstitusional karena tidak sesuai dengan konstitusi yang menyebut dengan UUD saja. Penulisan penyebutan berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 4/PUU-VII/2009, pada halaman 2 romawi I, tertulis: “Bahwa Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945)......”
Metode penulisan sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013-022/PUU-IV/2006 dengan tambahan frase “(selanjutnya UUD 1945)”. Pemaknaan perubahan ketiga terpisah dari Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan dan penambahan frase yang tidak jelas maksudnya, disebut atau disingkat.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-VIII/2010, pada halaman 2 romawi I angka 2, tertulis: “Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945......”
Metode penulisan sekali lagi berbeda dengan penulisan pada putusan sebelumnya, jelas hal ini adalah bukti tidak konsisten dalam penulisan.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, pada halaman 4 huruf A angka 1, tertulis: “Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)......”
Metode penulisan yang seakan tidak memahami, bahwa konstitusi telah berubah dengan amandemen menjadi Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, artinya dasar lahirnya Mahkamah Konstitusi pun tidak dipahami.
Rujukan Pasal 24 ayat (2) adalah tidak cermat dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi. Putusan-Putusan sebelumnya selalu merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) sebagai dasar kewenangan mengadili, sedangkan Pasal 24 ayat (2) adalah dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pencermatan terhadap penulisan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang tidak cermat dan tidak konsisten, maka patut dan layak untuk dipertanyakan bersandarnya harapan berbangsa dan bernegara selalu merujuk pada konstitusi yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal tersebut baru pada Putusan, jika diperhatikan pada salah satu Ketetapan Nomor: 106/PUU-VII/2009 dalam konsideran menimbang huruf a, tertulis:
“.......perihal Pengujian Pasal 43B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.......”
Ada dua hal yang tidak cermat, yaitu:
Pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya ada dua Pasal yaitu Pasal I tentang perubahan dan Pasal II berisi penutup, seharunya penulisannya adalah perihal Pengujian Pasal 43B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kedua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, tetapi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian catatan kecil ini, semoga Mahkamah Konstitusi dapat menjadi sandaran harapan agar dalam berbangsa dan bernegara selalu dalam koridor konstitusi.
Jombang, 27 Juli 2011
Gatut Wijaya, SH., M.Hum.
Kabag Hukum Setdakab Jombang.

Senin, 02 Mei 2011

DIMANA ENGKAU KEPASTIAN HUKUM

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, dari kalimat tersebut dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bahasa tutur sehari-hari disimpulkan bahwa negara kita adalah negara hukum. Pernyataan tersebut telah menjadi dogma warga negara Indonesia, namun dalam realitas sosial timbul diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan. Sebenarnya dalam ilmu hukum dikenal dengan idee das recht, yaitu hukum dalam kehidupan masyarakat harus memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi kemanusiaan.
Timbulnya diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan merupakan kewajaran akibat dari dogma negara hukum. Kepastian hukum seharusnya didapat dari hukum tertulis yaitu Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seharusnya terjadi penurunan derajad diskursus utamanya masalah kepastian hukum. Namun realitanya diskursus kepastian hukum malah menjadi-jadi dan seakan-akan semakin menggurita (kalau tidak dikatakan lebih parah). Keadaan yang demikian menjadi menarik di negara yang menyatakan berdasarkan hukum dalam konstitusinya.

Tidak taat azas
Pada saat diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terbit pula harapan akan adanya kepastian dari peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, karena dalam Undang-Undang tersebut telah jelas mengatur bagaimana membuat peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum lebih mantap dengan adanya Pasal 7 yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Masuknya Peraturan Daerah dalam hierarki lebih dari pengakuan hukum terhadap Peraturan Daerah sebagai Perundang-undangan dan termasuk dalam Peraturan Daerah adalah Peraturan Desa.
Namun pada tahun 2004 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dalam BAB VI Pasal sampai dengan Pasal 136 mengatur tentang Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Undang-Undang 32 Tahun 2004 jelas mereduksi aturan khusus yang mengatur pembuatan peraturan perundang-undangan. Hal ini awal dari idikator tidak taat azas dan mereduksi upaya menciptakan kepastian hukum, karena dalam UU 10 Tahun 2004 tidak mengenal adanya lembaga evaluasi dan klarifikasi, seharusnya dengan penyataan Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan, maka harus konsisten terhadap sistem hukum, yaitu bilamana peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum, maka mekanismenya adalah dengan judicial review melalui gugatan kepada Mahkamah Agung sebagi proses hukum (due process of law) bukan dengan dibatalkan oleh Presiden atau Menteri dalam mekanisme executive review. Keruwetan ini belum pernah dipermasalahkan dengan melakukan uji materiil terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 khusus mengenai pengaturan pembuatan peraturan daerah, karena tidak ada pemerintah daerah yang mempunyai legal standing untuk melakukan gugatan judicial review, karena dalam mengajukan gugatan berlaku asas siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan (point d’interst point d’action). Walau UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi salah satu UU yang paling sering diajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tetapi belum ada yang menggugat berkaitan dengan pengaturan pembuatan Perda.
Dengan tidak adanya gugatan berkaitan dengan pembuatan Perda, artinya UU Nomor 32 tahun 2004 telah mempunyai kekuatan berlaku jika mengacu pada teori pengakuan (anerkennungstherorie) namun menurut teori keuatan berlaku filosofis (filosofische geltung), maka harus dikaji UU tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif tertinggi (uverpositiven werte). Dari segi keabsahan (rechtimatigheid) tidak dipungkiri UU tersebut sah, tetapi yang belum mendapatkan jawaban dan pejelasan yang memuaskan adalah dari segi tujuan dan manfaatnya (doelmatigheid). Apakah tidak adanya judicial review karena pemerintah daerah telah mendapatkan manfaat dari UU Nomor 32 Tahun 2004 yang tidak mensyaratkan adanya naskah akademik dan uji publik terhadap peraturan daerah? Masih memerlukan penelusuran dan penelitian lebih cermat.

Lex dura set tamen scripta
Hukum memang kejam, namun demikianlah bunyi undang-undang (Lex dura set tamen scripta) azas ini dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum dari hukum tertulis (undang-undang). Persoalannya adalah bila peraturan perundang-undangan itu sendiri tidak memberikan kepastian dengan adanya pertentangan antar peraturan perundang-undangan itu sendiri. Menurut ilmu hukum bila terjadi pertentangan maka harus kembali ke azas, tetapi muncul persoalan lain bila ada kesulitan antar peraturan yang saling bertentangan dan keduanya merasa menjadi peraturan yang mengatur secara khusus (keduanya lex specialis). Lebih jauh kesulitan tersebut dengan adanya delegasi pengaturan sebagai penjabaran UU tidak kepada peraturan di bawahnya tetapi di luar hierarki, sebagai contoh UU memberikan delegasi kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut. Delegasi tersebut tidak salah tetapi terlalu jauh rentang kendalinya.
Dengan delegasi yang terlalu jauh cenderung menimbulkan distorsi dalam pelaksanaannya yang menyebabkan adanya reduksi filosofi dari UU induknya. Salah satu contoh, misalnya saat ini hampir semua pemerintah daerah mempermasalahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang memberikan amanat pengelolaan keuangan daerah lanyaknya departemen yang tidak langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga banyak kegiatan yang tidak terakomodir dalam nomenklatur anggaran. Jika dirujuk pada peraturan di atasnya yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1 Tahun 2004, maka semangat atau rohnya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan yang baik, sederhana, efektif dan efisien terdistrosi menjadi rumit, tidak efektif dan boros karena penyesuaian terhadap sistem yang rumit tanpa masa transisi dan tanpa memperhitungkan kemampuan kompetensi aparatur di daerah yang tidak sama dengan departemen, menyebabkan boros dan tidak efektif. Bila ada yang mengumpulkan data dan meneliti terhadap persiapan dan pelaksanaan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang berkaitan dengan perjalanan pejabat Depdagri ke daerah-daerah, pejabat daerah ke Depdagri serta jumlah konsumsi serta alat tulis kantor yang dibelanjakan daerah hanya untuk melaksanakan aturan dari menteri, mungkin akan mencengangkan. Untung saja tidak ada yang mendata dan meneliti. Mengapa harus demikian, ya karena begitulah bunyi undang-undang.
Kepatian hukum itu ada
Jika membaca tulisan di atas, jangan pernah menyimpulkan tidak ada kepastian hukum dalam sistem hukum negara hukum ini. Untuk mencari kepastian hukum dari peraturan yang carut marut, maka ilmu hukum selain asas hukum (seperti asas lex specialis derogat legi generalis/yang khusus melemahkan yang umum, lex posteriori derogat legi priori/yang baru melemahkan yang lama, lex priori derogat legi inferiori/yang utama melemahkan yang asesori) juga memberikan metode penemuan hukum (rechtsviding) salah satunya dengan metode interprestasi atau penafsiran yang dalam ilmu hukum dikenal dengan hermeneutik yuridis. Hal ini jarang digunakan karena memang ilmu hukum yang sering salah ditafsirkan hanya sebagai ilmu peradilan (rechtspraakwetenschap) selama ini tidak diimbangi dengan ilmu pembentukan perundang-undangan (wetgevingswetenchap). Metode penafsiran digunakan untuk membenarkan suatu rumusan (formula) peraturan atau membernarkan suatu analogi. Beberapa metode penafsiran adalah dengan metode argumentum a contrario (yang tidak dilarang berarti boleh, contoh Peninjauan Kembali oleh jaksa, walaupun PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya), metode rechtsverfining (penyempitan hukum).
Jadi ilmu hukum telah memberikan jalan keluar setiap terjadi konflik hukum untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Persoalannya adalah apakah asas dan metode hukum ditaati atau tidak, serta malas atau tidaknya para pelaku hukum untuk belajar dan menerapkan asas dan metode dalam membuat putusan, membuat aturan atau dalam memberikan pendapat hukum. Karena pada hakekatnya hukum yang secara konkrit diartikan peraturan adalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula dari keadaan adanya konflik menjadi tidak ada konflik hukum (asas restituti in integrum). Kepastian hukum ada, hanya persoalan para pelaku hukum mau atau tidak menunjukkan kepada masyarakat, dan membuktikan kepada warga negara dari negara yang berdasarkan hukum ini dimanakah engkau kepastian hukum?.

Rabu, 20 April 2011

Hinung Pratigina

Wadya prajurit Majapahit
Gagah prakosa, sikep gaman wani ing jurit
Sabregodo lumaksono sigrak ing lurung negara
Tumuju aloon-aloon bawera amba
Sesumbar: sak ndumuk bathuk sak nyari bumi
toh nyowo sabelo pati

sang mahapatih Gajahmadha jumeneng anteng
ngematake andhahne sing lagi noto barisan
tangguh dan tanggon tata peni kacawisan
sepi ing gunem, sigap tandang grayang

sang mahapatih paring pepeling
marang para prajuring kang bakal budal labuh negara
wikan tanda sing tansa dieling-eling
sesanti Hinung pratigina!!!!!!!!
Kinucap banter, disaut teges banter proprajurit amboto rubuh
agungno bangsa lan negara klawan rila
uriping kawula mung pasrah lelabuh
ora peduli bakal ndepani bantolo

tekad kang wis mantep
digembol njroning jiwa raga tinali singset
sak ndumuk bathuk sak nyari bumi
toh nyawa sabela pati
Hinung pratigina
Agungno bangsa lan negara

Kamis, 07 April 2011

Tinggar

Wingi udan deres awan drandang
Mangka esuke srengenge trawaca terang
Latar mbale katon reged kaya susuh manuk srigunting
Omah gedong sing karan loji
Bawera ombo sak tlatah kana mung ana siji

Sik kelingan karo sing nguya-nguyu neng ngarep warung soto
Pasar Megaluh pinggir bengawan brantas
Apa ya sik mangkel karo sing nguya-nguya karo karung digawa
Saiki babar kaya jangan waluh ditambah luntas

Turi sisih pingir sawah saiki wis doyong
Katerak angin mongso rendheng
Apa ya sik dipikir ulah sing kaningaya tan tangeh lamun
Bisa ngawe sapadaning titah pada gumun
Laku sulaya sajroning bebrayan

Kaningaya sing ngelikake
Lindu klawan banjir reruwet dikentirake
Sapa sing ala
Ing kana wahyuning sirna
Ora wingi
Ora saiki
Bek menawa sesuk isuk
Keduwung neng ngarep bathuk

Beja ora dinyana
Nanging kabeh kudhu dikanthi rila
Sapa sing enthuk berkah sing barokah
Mung amarga ijabah klawan rena