Kamis, 15 Maret 2012

KABUT TIPIS PAGI GERIMIS

Remang dan temaram di hari menjelang fajar
Matahari di balik awan enggan bersinar
Kabut tipis menyelimuti pagi
Kota dengan pepohonan nan asri

Langkah kecil menyusuri jalanan
Mbok bakul dengan rinjing di gendongan
Tanpa omelan dan keluh
Selalu semangat dan harapan yang penuh

Jalan berlubang bukan halangan
Lampu jalan yang jadi panjangan bukan pula urusan
Selama diberikan kesempurnaan raga
Kesehatan akan dijaga

Di persimpangan nan ramai
Kendaraan saling mendahului
Semua tak mau terlambat
Segala cara diembat

E mbok bakul terus menyusuri jalan
Sesekali menghindar trotoar rusak berantakan
Sesekali pula dipepet kendaraan
E mbok bakul malah tersenyum, edan

Dekat pasar di seberang
Melintas jalan perlu nyali garang
Kendaraan tak mau kalah
Mbok bakul juga tak mau menyerah

Sabar mbok bakul sabar
Dari pada kendaraan menyambar
Pasar sudah dekat
Tempat menitip harapan tajam dilihat

Becek dan kumuh
Tak ada aliran air mengenang keruh
Dekat tumpukan sampah dagangan digelar
Wajah berseri mata berbinar

Mbok bakul menunggu bukan menanti
Dagangan yang ditunggu sampai nanti
Menanti pembeli bukan tujuan
Dagangan terjual adalah harapan

Jumat, 02 Maret 2012

MASA JABATAN PERANGKAT DESA DI JOMBANG

Sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seluruh kabupaten/kota telah membentuk banyak peraturan daerah yang mengatur mengenai desa. Salah satu peraturan daerah mengatur pemerintah desa, di dalamnya memberikan mekanisme sistem pemerintah desa yang meliputi tata kerja pemerintah desa, tugas dan wewenang kepala desa dan perangkat desa, mekanisme kepala desa diangkat dan diberhentikan, dan mekanisme perangkat desa diangkat dan diberhentikan. Pada materi masa jabatan kepala desa, semua peraturan daerah dapat dengan mudah merujuk pada ketentuan Pasal 56 PP 72 Tahun 2005. Demikian pula di Jombang berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2006, masa jabatan perangkat desa adalah 6 tahun. Pada materi masa jabatan perangkat desa timbul persoalan hukum dalam Perda 6 tahun 2006, karena sempurnanya beberapa pasal yang mengatur. Untuk menguraikan menurut hukum ada beberapa hal yang perlu dijadikan bahan kajian agar lebih cermat dan dapat menyelesaikan masalah hukum.
Menurut PP 72 Tahun 2005
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 26 PP 72 Tahun 2005, terdapat beberpa norma hukum di dalamnya, yaitu:
1. perangkat desa berasal dari penduduk desa setempat;
2. perangkat desa diangkat dengan keputusan kepala desa;
3. usia perangkat sekurang-kurangnya 20 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun;
4. mekanisme pengangkatan perangkat desa lainnya diatur dalam peraturan daerah, yang sekurang-kurangnya mengatur:
a. persyaratan calon;
b. mekanisme pengangkatan;
c. masa jabatan;
d. kedudukan keuangan;
e. uraian tugas;
f. larangan, dan
g. mekanisme pemberhentian.
Perangkat desa lainnya adalah perangkat desa selain sekretaris desa yang telah diatur tersendiri dengan PP 45 Tahun 2007. Jadi yang diatur adalah perangkat desa selain sekretaris desa. Perangkat desa berasal dari desa setempat mengandung arti penghargaan dan penghormatan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Pengangatan dengan keputusan kepala desa, suatu yang wajar dan sebagai norma penegasan. PP memberikan rambu usia perangkat antara 20 sampai dengan 60 tahun, masa jabatan seharusnya diatur tersendiri dalam penormaan. Jika merujuk pada masa jabatan kepala desa yang dinormakan dalam periodisasi atau dengan periode tertentu, yaitu 6 tahun. Seharusnya masa jabatan perangkat desa juga diatur berdasarkan periodisasi. Demikian menurut PP 72 Tahun 2005.
Norma dalam Perda 6 Tahun 2006
Terkait masa jabatan perangkat desa, Pasal 36 Perda 6 Tahun 2006 menentukan sampai dengan usia 60 tahun. Norma masa jabatan ini ada beberapa kekurang sempurnaan, amanat Pasal 26 PP 72 Tahun 2005 telah dilaksanakan dengan mengatur masa jabatan, usia 60 tahun bukan suatu masa jabatan. Hal ini berbeda dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang pensiun pada usia 56 tahun, dan bukan suatu masa jabatan. Masa jabatan seharusnya dinormakan dalam suatu periodisasi dalam kurun waktu tertentu, dengan norma masa jabatan tersebut tidak melebihi batas usia perangkat 60 tahun. Ketentuan Pasal 36 Peda 6 Tahun 2006 walau kurang cermat dalam menjabarkan ketentuan Pasal 26 PP 72 Tahun 2005 adalah norma hukum yang berlaku, dan berlaku asas rechtmatigheid. Norma yang harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya, karena Perda sebagai produk perundang-undangan telah dibuat oleh lembaga yang berwenang membuat dan telah dilakukan executive preview serta telah diundangkan secara resmi.
Oleh karena Pasal 36 Perda 6 Tahun 2006 merupakan norma hukum resmi, dan pada saat diundangkan ada perangkat desa yang telah ada dan menjalankan tugas berdasarkan perda lama, seharusnya berlaku asas indubio proreo. Adanya perda baru, maka perangkat desa yang telah ada berlaku pula ketentuan yang baru yang menguntungkan, demikian menurut hukum. Norma dalam Pasal 36 Peda 6 Tahun 2006 tidak bersifat obiter dictum tetapi omnibus dictum, yaitu mempunyai daya berlaku untuk semua yang ada, yang telah ada maupun yang akan ada. Norma tersebut tidak dapat diberlakukan hanya terhadap perangkat desa yang akan ada, sementara perangkat yang telah ada diperlakukan perda yang lama, hal ini menyalahi asas dan perda yang lama jelas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi (lex inferfakta) dengan adanya perda baru. Dengan demikian seharusnya pada saat diundangkan Peda 6 Tahun 2006 seluruh perangkat desa masa jabatannya sampai usia 60 tahun.
Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 mementahkan dan menyimpangi ketentuan Pasal 36 Peda 6 Tahun 2006, dengan memberikan norma berlaku terhadap perda lama. Norma dalam ketentuan Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 yang memberlakukan perda lama jelas menurut hukum ada beberapa asas yang dikesampingkan. Pertama asas larangan retroaktif, dalam pembetukan peraturan perundang-undangan diseluruh dunia ada larangan menggunakan asas retroaktif sebagaimana deklarasi universal of human right. Kedua asas lex posteriori derogat legi priori, peraturan yang baru melemahkan peraturan yang lama. Dengan diundangkan Perda 6 Tahun 2006, perda mempunyai kekuatan hukum mengikat dan perda lama yang digantikan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan kedua asas tersebut, maka menurut hukum seharusnya Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (lex inferfakta). Tidak adanya kekuatan hukum mengikat Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 ditegaskan pada Pasal 48 Perda 6 Tahun 2006 yang jelas mencabut dan menyatakan tidak berlaku perda lama.
Doormatie statutory
Besikap terhadap kerancuan norma dalam ketentuan Perda 6 Tahun 2006, DPRD menerbitkan surat rekomendasi kepada Bupati. Selanjutnya Bupati menerbitkan Surat Edaran (SE), yang isinya tidak lain adalah rekomendasi DPRD. Isi rekomendasi dan SE adalah menghentian proses pemberhentian perangkat desa yang menjabat berdasarkan perda lama dengan masa jabatan periodisasi. Pertimbangan terbitnya Rekomendasi dan SE adalah memberikan waktu kepada pembentuk peraturan untuk menyempurnakan norma yang rancu dalam Perda 6 Tahun 2006. Hal ini perlu karena kemungkinan adanya gugatan administrasi terhadap kepala desa yang memberhentikan perangkat desa berdasar ketentuan Pasal 46 Perda 6 Tahun 2006 dengan alasan norma tersebut mengadung asas retroatif, tidak sesuai asas posteriori derogat legi priori, dan asas indubio proreo.
Menurut ilmu hukum, penangguhan pelaksanaan suatu norma hukum oleh pembentuk hukum dapat dibenarkan dengan suatu status penangguhan atau menurut bahasa hukum adalah doormatie statutory. Presiden dan DPR RI pernah melakukan penangguhan pelaksanaan norma UU nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan sampai dengan penyempurnaan dengan UU nomor 13 Tahun 2004. Dengan demikian rekomendasi DPRD dan SE Bupati harus diartikan sebagai bentuk doormatie statutory.
Ranah Pidana
Adanya kerancuan norma hukum dalam Perda 6 Tahun 2006 ada yang menilai dari aspek pidana terutama bagi perangkat desa yang telah menjabat sebelum adanya perda baru dan berdasarkan perda lama masa jabatannya menggunakan periodisasi serta telah berakhir masa jabatannya namun masih tetap menjalankan tugasnya sebagai perangkat desa. Mengarahkan kerancuan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur administratif dengan aspek pidana khususnya pidana korupsi, sangat tidak relevan dan terlalu dini. Ketika Yusril melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait jabatan Jaksa Agung, tidak sedikitpun adanya kajian dari aspek pidana, karena hal tersebut murni tataran administrasi. Jika ada yang mengaitkan kerancuan norma peraturan perundang-undangan dengan aspek pidana, maka perlu untuk dikesampinkan jalan pemikiran yang tidak berdasarkan ilmu hukum.