Senin, 02 Mei 2011

DIMANA ENGKAU KEPASTIAN HUKUM

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, dari kalimat tersebut dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bahasa tutur sehari-hari disimpulkan bahwa negara kita adalah negara hukum. Pernyataan tersebut telah menjadi dogma warga negara Indonesia, namun dalam realitas sosial timbul diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan. Sebenarnya dalam ilmu hukum dikenal dengan idee das recht, yaitu hukum dalam kehidupan masyarakat harus memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi kemanusiaan.
Timbulnya diskursus tentang kepastian hukum dan keadilan merupakan kewajaran akibat dari dogma negara hukum. Kepastian hukum seharusnya didapat dari hukum tertulis yaitu Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seharusnya terjadi penurunan derajad diskursus utamanya masalah kepastian hukum. Namun realitanya diskursus kepastian hukum malah menjadi-jadi dan seakan-akan semakin menggurita (kalau tidak dikatakan lebih parah). Keadaan yang demikian menjadi menarik di negara yang menyatakan berdasarkan hukum dalam konstitusinya.

Tidak taat azas
Pada saat diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terbit pula harapan akan adanya kepastian dari peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, karena dalam Undang-Undang tersebut telah jelas mengatur bagaimana membuat peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum lebih mantap dengan adanya Pasal 7 yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Masuknya Peraturan Daerah dalam hierarki lebih dari pengakuan hukum terhadap Peraturan Daerah sebagai Perundang-undangan dan termasuk dalam Peraturan Daerah adalah Peraturan Desa.
Namun pada tahun 2004 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dalam BAB VI Pasal sampai dengan Pasal 136 mengatur tentang Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Undang-Undang 32 Tahun 2004 jelas mereduksi aturan khusus yang mengatur pembuatan peraturan perundang-undangan. Hal ini awal dari idikator tidak taat azas dan mereduksi upaya menciptakan kepastian hukum, karena dalam UU 10 Tahun 2004 tidak mengenal adanya lembaga evaluasi dan klarifikasi, seharusnya dengan penyataan Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan, maka harus konsisten terhadap sistem hukum, yaitu bilamana peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum, maka mekanismenya adalah dengan judicial review melalui gugatan kepada Mahkamah Agung sebagi proses hukum (due process of law) bukan dengan dibatalkan oleh Presiden atau Menteri dalam mekanisme executive review. Keruwetan ini belum pernah dipermasalahkan dengan melakukan uji materiil terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 khusus mengenai pengaturan pembuatan peraturan daerah, karena tidak ada pemerintah daerah yang mempunyai legal standing untuk melakukan gugatan judicial review, karena dalam mengajukan gugatan berlaku asas siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan (point d’interst point d’action). Walau UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi salah satu UU yang paling sering diajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tetapi belum ada yang menggugat berkaitan dengan pengaturan pembuatan Perda.
Dengan tidak adanya gugatan berkaitan dengan pembuatan Perda, artinya UU Nomor 32 tahun 2004 telah mempunyai kekuatan berlaku jika mengacu pada teori pengakuan (anerkennungstherorie) namun menurut teori keuatan berlaku filosofis (filosofische geltung), maka harus dikaji UU tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif tertinggi (uverpositiven werte). Dari segi keabsahan (rechtimatigheid) tidak dipungkiri UU tersebut sah, tetapi yang belum mendapatkan jawaban dan pejelasan yang memuaskan adalah dari segi tujuan dan manfaatnya (doelmatigheid). Apakah tidak adanya judicial review karena pemerintah daerah telah mendapatkan manfaat dari UU Nomor 32 Tahun 2004 yang tidak mensyaratkan adanya naskah akademik dan uji publik terhadap peraturan daerah? Masih memerlukan penelusuran dan penelitian lebih cermat.

Lex dura set tamen scripta
Hukum memang kejam, namun demikianlah bunyi undang-undang (Lex dura set tamen scripta) azas ini dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum dari hukum tertulis (undang-undang). Persoalannya adalah bila peraturan perundang-undangan itu sendiri tidak memberikan kepastian dengan adanya pertentangan antar peraturan perundang-undangan itu sendiri. Menurut ilmu hukum bila terjadi pertentangan maka harus kembali ke azas, tetapi muncul persoalan lain bila ada kesulitan antar peraturan yang saling bertentangan dan keduanya merasa menjadi peraturan yang mengatur secara khusus (keduanya lex specialis). Lebih jauh kesulitan tersebut dengan adanya delegasi pengaturan sebagai penjabaran UU tidak kepada peraturan di bawahnya tetapi di luar hierarki, sebagai contoh UU memberikan delegasi kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut. Delegasi tersebut tidak salah tetapi terlalu jauh rentang kendalinya.
Dengan delegasi yang terlalu jauh cenderung menimbulkan distorsi dalam pelaksanaannya yang menyebabkan adanya reduksi filosofi dari UU induknya. Salah satu contoh, misalnya saat ini hampir semua pemerintah daerah mempermasalahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang memberikan amanat pengelolaan keuangan daerah lanyaknya departemen yang tidak langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga banyak kegiatan yang tidak terakomodir dalam nomenklatur anggaran. Jika dirujuk pada peraturan di atasnya yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1 Tahun 2004, maka semangat atau rohnya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan yang baik, sederhana, efektif dan efisien terdistrosi menjadi rumit, tidak efektif dan boros karena penyesuaian terhadap sistem yang rumit tanpa masa transisi dan tanpa memperhitungkan kemampuan kompetensi aparatur di daerah yang tidak sama dengan departemen, menyebabkan boros dan tidak efektif. Bila ada yang mengumpulkan data dan meneliti terhadap persiapan dan pelaksanaan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang berkaitan dengan perjalanan pejabat Depdagri ke daerah-daerah, pejabat daerah ke Depdagri serta jumlah konsumsi serta alat tulis kantor yang dibelanjakan daerah hanya untuk melaksanakan aturan dari menteri, mungkin akan mencengangkan. Untung saja tidak ada yang mendata dan meneliti. Mengapa harus demikian, ya karena begitulah bunyi undang-undang.
Kepatian hukum itu ada
Jika membaca tulisan di atas, jangan pernah menyimpulkan tidak ada kepastian hukum dalam sistem hukum negara hukum ini. Untuk mencari kepastian hukum dari peraturan yang carut marut, maka ilmu hukum selain asas hukum (seperti asas lex specialis derogat legi generalis/yang khusus melemahkan yang umum, lex posteriori derogat legi priori/yang baru melemahkan yang lama, lex priori derogat legi inferiori/yang utama melemahkan yang asesori) juga memberikan metode penemuan hukum (rechtsviding) salah satunya dengan metode interprestasi atau penafsiran yang dalam ilmu hukum dikenal dengan hermeneutik yuridis. Hal ini jarang digunakan karena memang ilmu hukum yang sering salah ditafsirkan hanya sebagai ilmu peradilan (rechtspraakwetenschap) selama ini tidak diimbangi dengan ilmu pembentukan perundang-undangan (wetgevingswetenchap). Metode penafsiran digunakan untuk membenarkan suatu rumusan (formula) peraturan atau membernarkan suatu analogi. Beberapa metode penafsiran adalah dengan metode argumentum a contrario (yang tidak dilarang berarti boleh, contoh Peninjauan Kembali oleh jaksa, walaupun PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya), metode rechtsverfining (penyempitan hukum).
Jadi ilmu hukum telah memberikan jalan keluar setiap terjadi konflik hukum untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Persoalannya adalah apakah asas dan metode hukum ditaati atau tidak, serta malas atau tidaknya para pelaku hukum untuk belajar dan menerapkan asas dan metode dalam membuat putusan, membuat aturan atau dalam memberikan pendapat hukum. Karena pada hakekatnya hukum yang secara konkrit diartikan peraturan adalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula dari keadaan adanya konflik menjadi tidak ada konflik hukum (asas restituti in integrum). Kepastian hukum ada, hanya persoalan para pelaku hukum mau atau tidak menunjukkan kepada masyarakat, dan membuktikan kepada warga negara dari negara yang berdasarkan hukum ini dimanakah engkau kepastian hukum?.

Tidak ada komentar: